JABATAN Sekretaris Daerah Provinsi Riau, kosong! Berita ini betah
menjadi headline berbagai media di daerah, berhari-hari lamanya. Semua mengupas
habis dari berbagai sisi. Digoreng sana, digoreng sini. Berkembang berbagai
spekulasi, curiga mencurigai bahkan sampai muncul dugaan konspirasi.
Jabatan Sekda yang merupakan jabatan tertinggi
dalam tataran birokrasi pemerintah, seharusnya memang tidak boleh kosong.
Jangankan sehari, satu jam saja jangan sampai. Pada titik ini, media-media
seperti mendapatkan makanan empuk, dan lagi-lagi untuk kesekian kali, selalu
saja ada muka yang harus ditunjuk.
Semua berlomba-lomba untuk nimbrung berbagi pendapat.
Gubernur disebut tidak peduli, tidak bertanggungjawab, tidak mengerti suara
rakyat dan berbagai tudingan lainnya. Jujur saja dalam situasi seperti saat
ini, saya sebenarnya tidak ingin terlalu reaktif. Saya tidak ingin ikut
nimbrung dalam polemik yang tidak berujung. Tidak ada untung.
Tapi melihat pemberitaan beberapa media, yang
mengutip narasumber dengan kalimat sepotong-potong, bahkan kadang tidak
mengerti persoalan dan aturan, kiranya perlu saya kembali meluruskan. Hal yang
sama ketika dulu saya ingat banyak cacian, ketika merencanakan pembangunan fly
over. Meski pada akhirnya semua bisa menikmati, ketika jembatan itu benar-benar
telah berdiri.
Mengenai jabatan Sekdaprov Riau yang kosong,
sebagai Gubernur, saya disebut sering menghindar bahkan ditulis melarikan diri.
Padahal sesungguhnya yang terjadi, saya sudah berulang kali menjelaskan
mengenai aturan dan Undang-Undang yang mengatur tentang penempatan Sekdaprov
Riau ini.
Di acara Musrenbang, rapat bersama Muspida, di
hadapan Bupati, Walikota bahkan Camat se provinsi Riau. Belum lagi saat
wawancara langsung dengan wartawan, secara terang benderang saya sudah jelaskan
tentang kondisi dan situasi yang dialami Provinsi ini. Namun yang membuat saya
heran, penjelasan yang sudah sejelas itu kadang tidak disampaikan dengan
sejelas-jelasnya, sebagaimana fungsi media seharusnya.
Jika ada yang merasa sedih dan prihatin dengan
kekosongan Sekdaprov Riau, maka orang itu adalah saya, selaku Gubernur Riau.
Saya kehilangan tangan kanan dalam pemerintahan. Padahal untuk masyarakat Riau
ketahui, jauh sebelum Wan Syamsir Yus, menyelesaikan tanggungjawabnya sebagai
Sekdaprov Riau, dengan kewenangan yang diberikan kepada Gubernur Riau, saya
sudah mengajukan tiga nama kepada Kementrian Dalam Negeri. Perlu dicatat, usulan
itu sudah diberikan sejak 28 November 2012.
Tiga nama ini telah memenuhi kriteria dan
kompetensi. Memiliki pengalaman yang dibutuhkan untuk seorang calon Sekdaprov.
Ketiga nama itu diusulkan jauh hari, semata-mata demi mengantisipasi jalannya
pemerintahan. Kata kuncinya: Tidak ada sedikit pun niat apalagi berharap,
sampai terjadi kekosongan jabatan penting sekelas Sekdaprov Riau, seperti yang
terjadi hari ini.
Namun faktanya, berbulan-bulan lamanya Kementrian
Dalam Negeri tidak memberikan penjelasan, jawaban apalagi keputusan.Sementara
waktu terus saja berjalan. Hingga akhirnya kursi Sekdaprov Riau benar-benar
kosong. Selaku Gubernur, saya adalah nakhodanya. Tak mungkin hanya karena
kehilangan ‘mekanik’, kapal bernama Riau ini harus berhenti di tengah lautan.
Saya pun berada di garis terdepan, meyakinkan
semua stakeholders untuk tetap bekerja sebagaimana tanggungjawabnya. Memastikan
semua pelayanan berlangsung dengan baik dan tidak terkendala apapun juga.
Karena pada dasarnya, pelayanan kepada rakyat tidak boleh terganggu, oleh hal
apapun dan dalam kondisi bagaimanapun. Itu poin penting yang Alhamdulillah
tetap terjaga dalam situasi yang sulit.
Sementara di tengah ketidakpastian, Kemendagri
sempat dikabarkan mengusulkan agar Gubernur Riau mengajukan Pelaksana Tugas
(Plt) Sekdaprov Riau. Namun sayangnya, usulan itu tidak pernah disampaikan
secara resmi melainkan hanya melalui media. Saling berbalas kata di media untuk
sebuah keputusan sangat penting.
Posisi Sekdaprov dalam struktur pemerintahan ini
begitu setrategis. Karena dia juga bertindak sebagai Ketua Pengguna Anggaran,
Koordinator SKPD, Ketua Tim Anggaran Eksekutif Daerah dan Ketua Baperjakat.
Andai jabatan Sekdaprov hanya Plt, kewenangannya akan terbatas dan memberikan
pengaruh luas bagi kebijakan yang akan dibuatnya nanti. Perihal pentingnya
Sekda definitif juga disampaikan oleh seorang pejabat Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) Pusat kepada saya, saat kami satu pesawat menuju Jakarta.
Tidak ingin masalah Sekdaprov ini menjadi
polemik, saya selaku Gubernur telah intens melakukan komunikasi dengan
Kemendagri, agar segera memberikan kepastian dalam bentuk jawaban resmi.
Sehingga ada kejelasan, sesuai aturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Namun lagi-lagi, kami hanya bisa menunggu, menunggu dan menunggu.
Jabatan Sekdaprov Riau akhirnya benar-benar
kosong. Tidak ada Sekdaprov definitif yang ditunjuk, ataupun Plt Sekdaprov yang
harus dipilih. Tolong dicatat, bukan karena saya tidak mau mengusulkan. Tapi
ada aturan birokrasi pemerintahan yang tidak boleh dilanggar.
Yang terjadi selanjutnya justru perang kata-kata di media. Ditambah komentar banyak kalangan, yang justru memperkeruh suasana bahkan melenceng jauh dari konteks bertata negara yang baik. Semua merasa punya pembenaran tapi tak mengerti peraturan, hingga akhirnya terbentuk opini yang membingungkan masyarakat.
Yang terjadi selanjutnya justru perang kata-kata di media. Ditambah komentar banyak kalangan, yang justru memperkeruh suasana bahkan melenceng jauh dari konteks bertata negara yang baik. Semua merasa punya pembenaran tapi tak mengerti peraturan, hingga akhirnya terbentuk opini yang membingungkan masyarakat.
Bahkan sampai muncul berita, bahwa nama calon
Sekdaprov yang saya ajukan tidak laku dan harus diajukan oleh Wakil Gubernur.
Saya tidak tahu, ada motif apa di balik pemberitaan itu. Saya juga bingung
dengan berita yang tidak memiliki dasar aturan, namun dimuat dan semakin
mengaburkan persoalan utama.
Padahal persoalan ini sebenarnya sederhana
sekali. Kemendagri hanya tinggal memberikan ketegasan. Karena saya selaku
Gubernur, berbulan-bulan lamanya juga menunggu jawaban. Apakah usulan ditolak?
Perlu direvisi atau diusul kembali? Sama sekali tidak ada keterangan resmi
apapun dari kemendagri. Persoalan ini sebenarnya sesederhana itu saja. Namun
karena dibiarkan lama, justru menjadi polemik yang sudah melenceng kemana-mana.
Perlu untuk diketahui, Minggu (21/4), barulah
saya mendapatkan laporan bahwa sudah ada jawaban resmi dalam bentuk surat dari
Kemendagri. Inilah pesan pertama dari surat yang kami kirimkan sejak 28
November tahun lalu. Pesannya, Kemendagri akan mulai melakukan evaluasi
terhadap tiga nama calon Sekdaprov Riau yang diusulkan. Ini sebuah titik terang
yang sebenarnya sudah ditunggu-tunggu. Evaluasi inilah jawaban, yang jika
dilakukan sejak beberapa bulan lalu, maka tidak akan terjadi kekosongan yang
menimbulkan polemik hari ini.
Jadi kepada mereka yang selama ini bertanya-tanya
dan mempolemikan, marilah sama-sama kita ikuti prosedur pemilihan Sekdaprov
Riau, sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Karena hari-hari begni, kita selalu dituntut harus berhati-hati saat mengambil
keputusan. Kadang bersikap dan bertindak benar pun, masih saja dicurigai
melakukan yang salah untuk kepentingan diri sendiri. Itulah yang menuntut saya
dengan semua tanggungjawab yang ada, menghindari semua kecurigaan.
Kepada sebagian kalangan media, untuk kesekian
kalinya saya menyerukan, semoga masih memiliki hati nurani saat menyampaikan pemberitaan-pemberitaan.
Jadilah peneduh bukan pengeruh. Jadilah pendamai, bukan pelerai.
Semua pihak dalam situasi seperti ini, juga
hendaknya menahan diri. Jangan melenceng kemana-mana, yang justru membuat
bingung rakyat. Ibarat kata,”Belanda masih jauh,”. Sangat naif sekali kiranya,
mengaitkan persoalan Sekdaprov Riau dengan berbagai persoalan politik ataupun
persoalan yang masuk ranah pribadi. Hentikan semua prasangka, saling curiga
mencurigai.
Andai pun tiga nama itu nantinya dicoret,
kemudian Kemendagri memberikan penjelasan lanjutan, itulah dia proses
sesungguhnya yang benar. Hak Gubernur hanya mengusulkan. Ditolak atau diterima,
Kemendagri yang tentukan.
Jadi mari kita ikuti saja proses yang sedang
berlangsung di Kemendagri. Tak perlu ada perang kata-kata apalagi perang
tudingan. Tak perlu juga saya geleng-geleng kepala, saat membaca seorang
pengamat yang mengusulkan DPRD mengajukan hak angket pada Gubernur. Terlalu
banyak yang tak paham, tapi percaya diri berbicara di media. Ironisnya, media
justru memuat utuh sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Seorang kawan menyampaikan pesan, kira-kira
begini katanya,”Mereka tak paham soal hak angket dan hak bertanya. Kedua hak
itu dialamatkan pada Gubernur, sementara Gubri dalam posisi pengusulan Sekda
bertanya ke Kemendagri. Jadi selain salah alamat, substansi yang diangketkan
dan dipertanyakan itu juga tidak mengandung muatan substantif,”. Andai
pemahaman kawan saya yang baru jadi Doktor Hukum itu dimengerti, mungkin tak
perlu ada suasana keruh seperti sekarang ini. Oh... Sekdaku. (rls)

0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !