Oleh : Redaksi
Marwah Riau
Candi Muara
Takus adalah situs candi tertua di Sumatera,
merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau.
Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah
berkembang di kawasan ini.
Candi ini
dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang
ada di Jawa,
yang dibuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi
Muara Takus, khususnya tanah liat, diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai,
terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama
Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa Cina,
Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, sehingga dapat
bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi
Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian itu sekarang sudah tenggelam oleh
genangan waduk PLTA Koto Panjang. Namun dalam Bahasa Siam,
kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat berarti sungai,
dan situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.
Bangunan
utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk menara yang
sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di
dalam situs Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang disebut dengan
Candi Tua, Candi Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan
tersebut di dalam komplek candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan
sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Sementara di luar situs ini terdapat pula
bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat
dipastikan jenis bangunannya.
Candi Mahligai
Candi
Mahligai atau Stupa Mahligai, merupakan bangunan candi yang dianggap paling
utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa
ini memiliki pondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m,
serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi alas candi dengan pintu masuk berada
di sebelah Selatan. Pada bagian alas tersebut terdapat ornamen lotus ganda, dan
di bagian tengahnya berdiri bangunan menara silindrik dengan 36 sisi berbentuk
kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk
lingkaran. Menurut Snitger, dahulu pada
ke-empat sudut pondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat
dari batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu bagian
puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief
sekelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan in
didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang sekarang terdapat
profil kaki bangunan lama sebelum bangunan diperbesar.
Candi Tua
Candi Tua
atau Candi Sulung merupakan bangunan terbesar di antara bangunan lainnya di
dalam situs Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu
kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya
2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat
di sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar
masing-masing tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar
mempunyai bentuk lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran
pondasi bangunan candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Pondasi candi ini memiliki
36 sisi yang mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah
bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung.
Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu pasir yang hanya
digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan
pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta
pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun
1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan.
Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang
tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.
Candi Bungsu
Candi
Bungsu bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada bagian
atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan
ukuran 13,20 x 16,20 meter. Di sebelah timur terdapat stupa-stupa kecil serta
terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu putih. Bagian pondasi bangunan
memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang di atasnya. Pada bidang tersebut
terdapat teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan
sebuah lubang di pinggiran padmasana stupa yang di
dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah tersebut didapatkan tiga keping
potongan emas dan satu keping lagi terdapat di dasar lubang, yang digores
dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf Nagari. Di bawah lubang, ditemukan
sepotong batu persegi yang pada sisi bawahnya ternyata digores dengan gambar tricula dan sembilan buah
huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang
digunakan. Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari batu pasir,
sedangkan separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua
bagian tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir.
Hal ini menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah
selesai dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.
Candi Palangka
Bangunan
candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai dengan ukuran tubuh candi 5,10
m x 5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata,
dan memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa
lampau diduga digunakan sebagai altar.
Arsitektur
Candi Muara
Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang ada di Riau. Ciri
yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha adalah
stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak
bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau
timbunan dan diberi puncak meru. Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama
Budha dan berubah-ubah bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di
dunia Budhisme lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu :
·
Stupa yang merupakan bagian dari sesuatu
bangunan.
·
Stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi
masing-masing sebagai bangunan lengkap.
·
Stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku
candi perwara.
Berdasarkan
fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara Takus
menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok
tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
Arsitektur bangunan stupa
Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik karena tidak ditemukan di tempat lain
di Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan stupa Budha di Myanmar,
stupa di Vietnam,
Sri Lanka
atau stupa kuno di India
pada periode Ashoka, yaitu stupa yang
memiliki ornamen
sebuah roda dan kepala singa, hampir sama dengan arca yang ditemukan
di kompleks Candi Muara Takus.
Patung
singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan
aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek ‘terang’ yang dapat
mengalahkan aspek ‘jahat’. Dalam ajaran agama Budha motif hiasan singa dapat
dihubungkan maknanya dengan sang Budha, hal ini terlihat dari julukan yang
diberikan kepada sang Budha sebagai ‘singa dari keluarga Sakya’. Serta ajaran
yang disampaikan oleh sang Budha juga diibaratkan sebagai ‘suara’ (simhanada)
yang terdengar keras di seluruh penjuru mata angin.
Dalam
naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang
dianggap baik, antara lain :
1.
Udyatā: singa yang digambarkan di atas
kedua kaki belakang, badannya dalam posisi membalik dan melihat ke belakang.
Sikap ini disebut simhavalokana.
2.
Jāgrata: singa yang digambarkan dengan
wajah yang sangat buas (mattarūpina). Ia bersikap duduk dengan cakarnya
diangkat ke atas. Sering disebut khummana simha.
3.
Udyatā: singa yang digambarkan dalam sikap
duduk dengan kaki belakang dan biasanya ditempatkan di atas suatu tempat yang
tinggi. Terkenal dengan sebutan jhmpa-simha.
4.
Gajakrānta: singa yang digambarkan duduk
dengan ketiga kakinya di atas raja gajah. Satu kaki depannya diangkat di depan
dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa ini disebut simha kunjara.
Di kompleks
Candi Muara Takus sendiri terdapat dua candi yang memiliki patung singa, yaitu
Candi Sulung dan Candi Mahligai. Di Candi Sulung arca singa ditemukan di depan
candi atau di tangga masuk candi tersebut. Di Candi Mahligai arca singa
ditemukan di keempat sudut pondasinya. Penempatan patung singa ini, berdasarkan
konsep yang berasal dari kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga bangunan
suci dari pengaruh jahat karena singa merupakan simbol dari kekuatan terang
atau baik.
Berdasarkan penelitian R.D.M.
Verbeck dan E. Th. van Delden diduga bahwa bangunan Candi Muara Takus dahulunya
merupakan bangunan Buddhis yang terdiri dari biara dan beberapa candi.
Latar belakang pendirian
Candi
merupakan bangunan suci yang berkembang pada masa Hindu-Buddha.
Bangunan suci ini dibuat sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama Hindu
maupun agama Buddha. Agama Hindu dan Buddha berasal dari India sehingga konsep
yang digunakan dalam pendirian sebuah bangunan suci sama dengan konsep yang
berkembang dan digunakan di India, yaitu konsep tentang air suci.
Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap suci. Air itu nantinya
digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak hanya digunakan
untuk upacara ritual saja, namun secara teknis juga diperlukan dalam
pembangunan maupun pemeliharaan dan kelangsungan hidup bangunan itu sendiri.
Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang tempat tersebut potensi untuk
dianggap suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap suci. Maka dalam
usaha pendirian bangunan suci para seniman bangunan selalu memperhatikan
potensi kesucian suatu tempat dimana akan didirikan bangunan tersebut.
Agar tetap
terjaga dan terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara daerah
sekitar titik pusat bangunan atau Brahmasthana serta keempat
titik mata angin dimana dewa Lokapala (penjaga
mata angin) berada untuk melindungi dan mengamankan daerah tersebut sebagai
Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam nyata. Kemudian dilakukan
berbagai upacara untuk mensucikan tanah tersebut. Dalam hal ini air sangat
berperan selama upacara berlangsung, karena air selain mensucikan juga untuk
menyuburkan daerah tersebut. Sehingga dalam upaya pendirian suatu bangunan
suci, selain potensi kesucian tanah yang perlu diperhatikan adalah keberadaan
atau tersedianya air di daerah tersebut. Hal ini sama dengan konsep kebudayaan
India yang menyatakan bahwa keberadaan gunung meru sebagai tempat tinggal para
dewa dikeilingi oleh tujuh lautan. Maka secara nalar dan umun dapat diketahui
bahwa pendirian sebagian besar bangunan suci tempatnya selalu berada di dekat
air.
Keadaan
geografis wilayah Sumatera yang memiliki aliran sungai yang besar sangat
mendukung konsep dari kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran sungai
besar tersebut air dengan mudah didapat untuk keperluan dari upacara ritual.
Selain faktor air, faktor ekonomi juga dapat melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan
suci. Aliran sungai di Sumatera pada masa lampau merupakan jalur transportasi
untuk perdagangan. Pada awalnya jumlah pedagang yang datang sedikit. Namun lama
kelamaan karena menunggu waktu yang tepat untuk berlayar maka mereka bermukim
di sekitar daerah tersebut. Maka diperlukanlah tempat peribadatan untuk umat
beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena tidak mungkin berdirinya suatu
bangunan sakral atau candi tanpa didukung masyarakat pendirinya demi
kelangsungan hidup bangunan suci tersebut. Maka seirama dengan tumbuh dan
pesatnya perdagangan di suatu tempat pada umumnya akan muncul pula
bangunan-bangunan suci atau candi untuk digunakan sebagai tempat menjalankan
upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut yang telah mengenal magis
terhadap bangunan candi, berperan dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan
perdagangan.
Faktor kekuasaan juga berpengaruh
dalam pembangunan suatu candi. Suatu kerajaan yang berhasil menaklukkan suatu
wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang dapat menggambarkan ciri khas suatu
kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.
Beberapa aspek dalam
pendirian candi
Dari suatu
bangunan candi kita dapat melihat beberapa aspek kehidupan. Pada candi Muara
Takus ini aspek-aspek yang dapa kita lihat antara lain:
Aspek
teknologi: Bahan yang digunakan adalah batu bata. Ukuran bata yang dipakai
membangun candi ini bervariasi, panjang antara 23 sampai 26 cm, lebar 14
sampai dengan 15,5 cm dan tebalnya 3,5 cm sampai 4,5 cm. Bata
pada masa lampau memiliki kualitas yang lebih baik dari bata pada masa
sekarang. Ini dikarenakan tanah liat yang digunakan disaring sampai benar-benar
tidak ada komponen lain selain tanah liat, misalnya pasir. Selain itu, terdapat
”isian” di dalam bata, biasanya berupa sekam. Maksud dari isian ini, supaya
bata kuat. Perekatan antar batu bata menggunakan sistem kosod. Sistem kosod
merupakan sistem perekatan bata dengan cara menggosokkan bata dengan bata lain
dimana pada bidang gosokannya tersebut diberi air. Sistem ini juga dapat
ditemukan pada situs-situs di Jawa Timur dan masih dapat ditemukan di daerah Bali. Perekatan bata yang
menggunakan sistem kosod menyebabkan perekatan antar bata akan bertambah erat
dari tahun ke tahun.
Aspek
sosial: Pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong dan dilakukan
oleh orang ramai. Begitu juga pada saat upacara pemujaan terdapat perbedaan
status, yaitu pemimpin upacara dan pengikutnya.
Aspek
religi: terlihat dari bentuk candi Muara Takus yang berupa stupa, yang
menunjukkan candi ini sebagai tempat pemujaan umat agama Buddha, khususnya
aliran Mahayana.





0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !