![]() |
| Prof. Dr. Ashaluddin Jalil M.S Rektor Universitas Riau |
LEBIH kurang
35 tahun yang lalu, terjadi perubahan sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Kala itu, Prof. Dr. Fuad Hassan (almarhum) menjadi Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. Pendidikan tinggi yang dulu merujuk kepada
sistem pendidikan tinggi di Belanda, diubah menjadi satuan kredit semester.
Meskipun
sistem di Belanda itu pada dasarnya dilaksanakan oleh semua negara di luar
Indonesia tapi sistem kredit semester di Indonesia memiliki ciri khas. Artinya
filosofi pendidikan tinggi di Indonesian disebut S1, S2 dan S3 (di luar
Indonesia disebut under graduate, graduate dan post graduate). Awal pelaksanaan
kredit semester ini untuk srtata-1 (S-1 setara dengan Sarjana Muda)
menghabiskan antara 154 hingga 160 kredit semester. Jadi tidak mengherankan
ketika (masa lalu) seseorang mahasiswa 3-4 tahun sudah sarjana muda dan
memasuki 5-6 tahun dia sudah sarjana (sarjana masa lalu setara dengan S2).
Pelaksanaan
pendidikan tinggi terus berkembang dan hingga saat ini seorang mahasiswa untuk menyelesaikan
pendidikan S-1 nya harus menghabiskan sekurang kurangnya 140 kredit.
Melanjutkan ke strata dua (S-2 atau Master degree) minimal menyelesaikan 40
kredit dan ketika mau melanjutkan ke Doktor (PhD atau S-3) menghabiskan 40
kredit lagi. Alhasil, seorang anak Indonesia jika mau pintar hingga selesai
program Doktor (S-3) harus menyelesaikan minimal 220 kredit.
Bandingkan
dengan pendidikan tinggi di luar Indonesia untuk strata satu maksimal 120
kredit strata dua (Master) tidak lebih dari 20 kredit dan strata tiga (S-3)
kurang dari 26 kredit. Justru selama menjalani pendidikan S-3 lebih banyak
meneliti, menulis, seminar dan kerja-kerja mandiri di bawah bimbingan intensif
sang supervisor dan promotor.
Keadaan
seperti ini berimplikasi kepada pelaksanaa pendidikan tinggi di Indonesianitu
sendiri, artinya hampir semua perguruan tinggi (negeri ataupun swasta) di
Indonesia hanya fokus melaksanakan pendidikan tinggi pada strata satu, kemudian
berangsur-angsur kepada strata dua dan sedikit sekali yang melaksanakan
pendidikan strata tiga. Tidak mengherankan bahwa perguruan tinggi di Indonesia
boleh dikatakan belum ada mengeluarkan mahasiswa yang menyelesaikan program
Doktor atau PhD di bawah umur 30 tahun.
Perkembangan
dunia yang terus melejit, yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi mengharuskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia memasang target bahwa sebelum tahun 2020 masyarakat
Indonesia yang berpendidikan tinggi minimal mencapai atau mendekati 40 persen.
Dewasa
ini di Indonesia yang berpendidikan tinggi kurang dari 30 persen. Oleh karena
itu tugas utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperluas keterjangkauan
pendidikan tinggi melalui pengembangan aksessibilitas serta fasilitas.
Untuk
mencapai target itu maka sejak tahun 2012 dikembangkan pendidikan tinggi yang
disebut akademi komunitas. Wujud kegiatan sekolah ini adalah merujuk kepada
pendidikan diploma I, II dan III, bahkan dalam rancangan nya hingga ke diploma
IV.
Jenjang
pendidikan ini lebih mengutamakan kepada pendidikan keterampilan atau vokasi
namun ke depan akademi komunitas bekerja sama dengan perguruan tinggi
(universitas atau institut) dibenarkan untuk membuka program Master dan
Doktor.
Menyikapi
kadaan seperti yang disampaikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan
tinggi di Indonesia masih berkutat kepada formal administratif artinya
pendidikan tinggi masih ditentukan oleh birokrasi tanpa otonomi yang jelas di perguruan
tinggi itu sendiri.
Fokus penyelenggaraan pada pendidikan strata satu dan baru mulai meningkat ke strata dua menyebabkan pendidikan tinggi Indonesia kalah bersaing. Memang disadari bahwa perguruan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta berjumlah lebih dari 3.000 perguruan tinggi.
Fokus penyelenggaraan pada pendidikan strata satu dan baru mulai meningkat ke strata dua menyebabkan pendidikan tinggi Indonesia kalah bersaing. Memang disadari bahwa perguruan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta berjumlah lebih dari 3.000 perguruan tinggi.
Ini
merupakan jumlah yang sangat besar jika di bandingkan dengan negara negara di
luar Indonesia.
Selain
itu, sejak reformasi yang berujung kepada otomomi daerah pada Kabupaten dan
Kota, masing-masing daerah otonom yang memiliki kemampuan APBD besar berusaha
membangun dan membuka universitas baru.
Sesungguhnya
membuka universitas akan berhadapan kepada persoalan tenaga pengajar, karena
filosofi perguruan tinggi yang menjadi pengajar adalah yang berpendidikan Doktor
(S-3) walaupun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan persyaratan ini
diturunkan menjadi sekurang kurangnya pengajar berpendidikan Master (S-2).
Persyaratan
ini meningkat ketika perguruan tinggi akan diakreditasi, bahwa akan mampu
ter-akreditasi A jika sekurang-kurangnya tenaga pengajar di perguruan tinggi
yang bersangkutan berpendidikan Doktor minimal 40 persen dari total Dosen.
Jika
ini dibahas lebih lanjut dan hitung jumlah tenaga pengajar yang berpendidikan
Doktor dan tentu saja jumlah Profesor (Guru Besar), maka pertanyaan nya adalah:
bagaimana harapan dan kenyataan pendidikan tinggi di Republik ini?
Sumber :
Tribunnews

0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !