Pendidikan Tinggi, Antara Harapan dan Kenyataan

Senin, 18 Maret 2013

Oleh: Prof DR Ashaluddin Jalil M.S (Rektor Universitas Riau)

Prof. Dr. Ashaluddin Jalil M.S
Rektor  Universitas Riau
LEBIH kurang 35 tahun yang lalu, terjadi perubahan sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Kala itu, Prof. Dr. Fuad Hassan (almarhum) menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pendidikan tinggi yang dulu merujuk kepada sistem pendidikan tinggi di Belanda, diubah menjadi satuan kredit semester. 
Meskipun sistem di Belanda itu pada dasarnya dilaksanakan oleh semua negara di luar Indonesia tapi sistem kredit semester di Indonesia memiliki ciri khas. Artinya filosofi pendidikan tinggi di Indonesian disebut S1, S2 dan S3 (di luar Indonesia disebut under graduate, graduate dan post graduate). Awal pelaksanaan kredit semester ini untuk srtata-1 (S-1 setara dengan Sarjana Muda) menghabiskan antara 154 hingga 160 kredit semester. Jadi tidak mengherankan ketika (masa lalu) seseorang mahasiswa 3-4 tahun sudah sarjana muda dan memasuki 5-6 tahun dia sudah sarjana (sarjana masa lalu setara dengan S2).
Pelaksanaan pendidikan tinggi terus berkembang dan hingga saat ini seorang mahasiswa untuk menyelesaikan pendidikan S-1 nya harus menghabiskan sekurang kurangnya 140 kredit. Melanjutkan ke strata dua (S-2 atau Master degree) minimal menyelesaikan 40 kredit dan ketika mau melanjutkan ke Doktor (PhD atau S-3) menghabiskan 40 kredit lagi. Alhasil, seorang anak Indonesia jika mau pintar hingga selesai program Doktor (S-3) harus menyelesaikan minimal 220 kredit. 
Bandingkan dengan pendidikan tinggi di luar Indonesia untuk strata satu maksimal 120 kredit strata dua (Master) tidak lebih dari 20 kredit dan strata tiga (S-3) kurang dari 26 kredit. Justru selama menjalani pendidikan S-3 lebih banyak meneliti, menulis, seminar dan kerja-kerja mandiri di bawah bimbingan intensif sang supervisor dan promotor. 
Keadaan seperti ini berimplikasi kepada pelaksanaa pendidikan tinggi di Indonesianitu sendiri, artinya hampir semua perguruan tinggi (negeri ataupun swasta) di Indonesia hanya fokus melaksanakan pendidikan tinggi pada strata satu, kemudian berangsur-angsur kepada strata dua dan sedikit sekali yang melaksanakan pendidikan strata tiga. Tidak mengherankan bahwa perguruan tinggi di Indonesia boleh dikatakan belum ada mengeluarkan mahasiswa yang menyelesaikan program Doktor atau PhD di bawah umur 30 tahun.
Perkembangan dunia yang terus melejit, yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi mengharuskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia memasang target bahwa sebelum tahun 2020 masyarakat Indonesia yang berpendidikan tinggi minimal mencapai atau mendekati 40 persen. 
Dewasa ini di Indonesia yang berpendidikan tinggi kurang dari 30 persen. Oleh karena itu tugas utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperluas keterjangkauan pendidikan tinggi melalui pengembangan aksessibilitas serta fasilitas. 
Untuk mencapai target itu maka sejak tahun 2012 dikembangkan pendidikan tinggi yang disebut akademi komunitas. Wujud kegiatan sekolah ini adalah merujuk kepada pendidikan diploma I, II dan III, bahkan dalam rancangan nya hingga ke diploma IV. 
Jenjang pendidikan ini lebih mengutamakan kepada pendidikan keterampilan atau vokasi namun ke depan akademi komunitas bekerja sama dengan perguruan tinggi (universitas atau institut)  dibenarkan untuk membuka program Master dan Doktor.
Menyikapi kadaan seperti yang disampaikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia masih berkutat kepada formal administratif artinya pendidikan tinggi masih ditentukan oleh birokrasi tanpa otonomi yang jelas di perguruan tinggi itu sendiri. 

Fokus penyelenggaraan pada pendidikan strata satu dan baru mulai meningkat ke strata dua menyebabkan pendidikan tinggi Indonesia kalah bersaing. Memang disadari bahwa perguruan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta berjumlah lebih dari 3.000 perguruan tinggi. 
Ini merupakan jumlah yang sangat besar jika di bandingkan dengan negara negara di luar Indonesia.
Selain itu, sejak reformasi yang berujung kepada otomomi daerah pada Kabupaten dan Kota, masing-masing daerah otonom yang memiliki kemampuan APBD besar berusaha membangun dan membuka universitas baru. 
Sesungguhnya membuka universitas akan berhadapan kepada persoalan tenaga pengajar, karena filosofi perguruan tinggi yang menjadi pengajar adalah yang berpendidikan Doktor (S-3) walaupun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan persyaratan ini diturunkan menjadi sekurang kurangnya pengajar berpendidikan Master (S-2). 
Persyaratan ini meningkat ketika perguruan tinggi akan diakreditasi, bahwa akan mampu ter-akreditasi A jika sekurang-kurangnya tenaga pengajar di perguruan tinggi yang bersangkutan berpendidikan Doktor minimal 40 persen dari total Dosen.
Jika ini dibahas lebih lanjut dan hitung jumlah tenaga pengajar yang berpendidikan Doktor dan tentu saja jumlah Profesor (Guru Besar), maka pertanyaan nya adalah: bagaimana harapan dan kenyataan pendidikan tinggi di Republik ini?
Sumber : Tribunnews
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © September, 2012. Marwah Riau - All Rights Reserved
Design by Blogger Inside Inspired by Create Website
Proudly powered by Blogger