Pesan Terakhir Buat Sang Wartawan

Jumat, 28 September 2012


Oleh: Rajakhayal Sarumpaet

Entah mengapa Perton merasakan hari itu serasa hilang gairah untuk melakukan aktivitas sebagai wartawan di perusahaan tempatnya bekerja, mulai pagi hari hingga sang surya tepat posisinya diatas kepala.
Lelaki bertubuh besar itu hanya diam membisu tanpa banyak kata duduk dimeja kantor saat perasaan sepi merasuki raganya. Prety perempuan berwajah keibuan kekasih hatinya itu menghampiri untuk menyelidiki apa gerangan yang menimpa calon suaminya itu.
“Tidak biasanya abang merenung!” ucap gadis berhidung mancung itu peduli atas tingkah Perton yang tidak seperti biasanya.
“Entahlah,….. hari ini ada bagian hidupku yang hilang dan perasaan malas untuk bekerja pun merasuki seluruh jiwa dan ragaku.” Balas lelaki kuli tinta itu.
“Apa kamu sakit?” kembali Prety menyelidiki penuh harap.
“Aku sehat saja, tetapi aku tidak pernah merasakan sesepi ini,” ucap wartawan itu jujur.
“Apa kamu ada masalah bang?” lagi-lagi wanita berambut panjang sebahu itu bertanya penasaran.
“Aku tidak ada masalah namun saat hendak berangkat bekerja tadi abang dipesan mama untuk segera menikah tetapi aku menolak dan sedikit berdebat dengannya,” kata Perton menyesali diri.
“kenapa abang tidak menyetujuinya, itukan wajar apalagi abang yang belum menikah dan mama itu sudah tua dan sudah lama ditinggal suaminya.” saran Prety sembari mendekatkan tempatnya duduk menghadap pria yang dikaguminya itu.
“Bila aku menikah siapa yang merawatnya?” kilah Perton.
“Aku yang merawatnya!” balas Prety tulus.
Mendengar tanggapan kekasihnya itu, pria kelahiran Tapanuli itu bahagia dihati dan kemudian digenggamnya jemari lentik wanita itu sembari mengecup dengan perasaan lega.
“Kalau begitu sekarang aku pulang untuk menyampaikan kabar bahagia ini buat mamaku!” kata Perton sambil berlari meninggalkan wanita itu sendiri.
Dengan perasaan lega dan seakan berbunga dihati pria itu memacu sepeda motor Rx-King peninggalan ayahnya menuju rumah “berpacu dengan waktu” untuk segera bertemu dengan ibu tercinta memberitahukan “kabar baik” yang lama diidam-idamkan wanita yang melahirkan Perton.
Namun entah mengapa saat memasuki halaman rumah kembali perasaan sepi dihati itu tiba-tiba menyerang jiwa raganya. Dilangkahkan kakinya menuju ruangan kamar yang biasa digunakan perempuan yang melahirkan Perton untuk “menjahit pesanan” para pelanggannya.
Pria itu “berdiri mematung” saat melihat orang yang dihormatinya “terbujur kaku” dengan wajah pucat dah suhu wanita itu terasa dingin saat lelaki itu menjamah ibunya yang telah “dipanggil kehadapan Ilahi”.
Perton kini menyadari arti “rasa sepi” yang merasuki jiwanya, dipandangnya sekeliling kamar itu dan didapatinya sepucuk surat diatas “meja jahit tua” yang berisikan :
“Dihari tuaku jauh dari anak-anakku! Duduk aku seorang diri dimesin jahitku. Kepada semua anakku siapa diantara kamu yang ikhlas bersusah payah mengurus aku? karena aku tinggal diberi makan dan minum bahkan aku terkadang harus dimandikan dan ditemani. Siapa tahu aku tutup usia, siapakah yang akan menutup kelopak mataku?”
            Usai membaca pesan surat itu Perton “sang wartawan” semakin menyadari bahwa “orang tua” adalah seperti Tuhan YME yang harus dipatuhi semasa hidupnya.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © September, 2012. Marwah Riau - All Rights Reserved
Design by Blogger Inside Inspired by Create Website
Proudly powered by Blogger