Oleh:
Rajakhayal Sarumpaet
Entah mengapa
Perton merasakan hari itu serasa hilang gairah untuk melakukan aktivitas
sebagai wartawan di perusahaan tempatnya bekerja, mulai pagi hari hingga sang
surya tepat posisinya diatas kepala.
Lelaki bertubuh
besar itu hanya diam membisu tanpa banyak kata duduk dimeja kantor saat
perasaan sepi merasuki raganya. Prety perempuan berwajah keibuan kekasih
hatinya itu menghampiri untuk menyelidiki apa gerangan yang menimpa calon
suaminya itu.
“Tidak biasanya
abang merenung!” ucap gadis berhidung mancung itu peduli atas tingkah Perton
yang tidak seperti biasanya.
“Entahlah,…..
hari ini ada bagian hidupku yang hilang dan perasaan malas untuk bekerja pun
merasuki seluruh jiwa dan ragaku.” Balas lelaki kuli tinta itu.
“Apa kamu
sakit?” kembali Prety menyelidiki penuh harap.
“Aku sehat saja,
tetapi aku tidak pernah merasakan sesepi ini,” ucap wartawan itu jujur.
“Apa kamu ada
masalah bang?” lagi-lagi wanita berambut panjang sebahu itu bertanya penasaran.
“Aku tidak ada
masalah namun saat hendak berangkat bekerja tadi abang dipesan mama untuk
segera menikah tetapi aku menolak dan sedikit berdebat dengannya,” kata Perton
menyesali diri.
“kenapa abang
tidak menyetujuinya, itukan wajar apalagi abang yang belum menikah dan mama itu
sudah tua dan sudah lama ditinggal suaminya.” saran Prety sembari mendekatkan
tempatnya duduk menghadap pria yang dikaguminya itu.
“Bila aku
menikah siapa yang merawatnya?” kilah Perton.
“Aku yang
merawatnya!” balas Prety tulus.
Mendengar
tanggapan kekasihnya itu, pria kelahiran Tapanuli itu bahagia dihati dan
kemudian digenggamnya jemari lentik wanita itu sembari mengecup dengan perasaan
lega.
“Kalau begitu
sekarang aku pulang untuk menyampaikan kabar bahagia ini buat mamaku!” kata
Perton sambil berlari meninggalkan wanita itu sendiri.
Dengan perasaan
lega dan seakan berbunga dihati pria itu memacu sepeda motor Rx-King
peninggalan ayahnya menuju rumah “berpacu dengan waktu” untuk segera bertemu
dengan ibu tercinta memberitahukan “kabar baik” yang lama diidam-idamkan wanita
yang melahirkan Perton.
Namun entah
mengapa saat memasuki halaman rumah kembali perasaan sepi dihati itu tiba-tiba
menyerang jiwa raganya. Dilangkahkan kakinya menuju ruangan kamar yang biasa digunakan
perempuan yang melahirkan Perton untuk “menjahit pesanan” para pelanggannya.
Pria itu
“berdiri mematung” saat melihat orang yang dihormatinya “terbujur kaku” dengan
wajah pucat dah suhu wanita itu terasa dingin saat lelaki itu menjamah ibunya
yang telah “dipanggil kehadapan Ilahi”.
Perton kini
menyadari arti “rasa sepi” yang merasuki jiwanya, dipandangnya sekeliling kamar
itu dan didapatinya sepucuk surat diatas “meja jahit tua” yang berisikan :
“Dihari tuaku jauh dari anak-anakku! Duduk aku seorang
diri dimesin jahitku. Kepada semua anakku siapa diantara kamu yang ikhlas
bersusah payah mengurus aku? karena aku tinggal diberi makan dan minum bahkan
aku terkadang harus dimandikan dan ditemani. Siapa tahu aku tutup usia,
siapakah yang akan menutup kelopak mataku?”
Usai membaca pesan surat itu Perton
“sang wartawan” semakin menyadari bahwa “orang tua” adalah seperti Tuhan YME
yang harus dipatuhi semasa hidupnya.

0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !