Tanah Habis, Masyarakat Binasa

Minggu, 10 Maret 2013

Meranti (Marwah Riau)
Nasib anak-anak Suku Asli di Kabupaten Kepulauan Meranti, khususnya di Kepau Baru tergantung kebijakan pemerintah. 
Bahkan, kejadian tak memiliki tanah sebagai tapak rumah tak saja terjadi di Kepau Baru, akan tetapi di beberapa tempat lainnya,  seperti di Desa Kudap, Ransang, Tanjungkedabu dan Ransang Pesisir.
‘’Tak sedikit  anak cucu dan keluarga kami yang sampai sekarang masih menumpang hidup di tanah orang. Tapi tak semuanya, karena sebagian ada juga tanah, tapi warga kami lebih betah tinggal di tepian pantai,’’ kata  Ketua Ikatan Keluarga Besar Batin Suku Asli (IKBBSA) Kepulauan Meranti, Amir, kepada wartawan.  
Menurutnya, anak Suku Asli di Kepau Baru pada umumnya bekerja sebagai buruh dan petani kebun rumbia (sagu, red). 
Akan tetapi kebun  rumbia  yang mereka kerjakan pada umumnya bukan milik pribadi. 
‘’Kalaupun ada hanya beberapa orang saja,  selebihnya menjadi buruh di perkebunan perusahaan dan tauke-tauke yang memiliki kebun rumbia,’’ sebut Amir.
 Hidup menumpang di tanah tauke atau menumpang di tanah sendiri karena terjerat sistem ijon sudah lama terjadi.  
Diakui Amir tak memiliki tanah bagi saudara dan anak cucunya saat ini juga dipengaruhi karena Suku Asli suka berpindah-pindah. 
Namun sejak terbentuknya Kabupaten Kepulauan Meranti dan disentuh berbagai program akhirnya mereka menetap. 
Tapi tak semuanya bisa begitu, sebab mereka bisa saja pindah dari Pulau Tebingtinggi ke Pulau Ransang, Pulau Merbau atau Pulau Padang. 
‘’Berpindah karena mereka masih ada hubungan persaudaraan yang akhirnya tanah mereka tergadai. Sehingga saat mereka tiba ke kampung kembali tanah tak ada akhirnya menumpang di tanah orang untuk membangun rumah,’’ jelasnya.
Apalagi di Desa Kepau Baru, tanah-tanah dan hutan sudah menjadi milik perusahaan besar. Sedangkan di tepian pantai banyak kebun rumbia yang dimiliki para tauke. 
Diakuinya, dulu milik datuk atau nenek para saudaranya di kampung tersebut. Akan tetapi karena adanya sistim ijon atau pajak akhirnya tanah tersebut berpindah tangan ke tauke. 
Sistem ijon satu pihak sangat membantu masyarakat Suku Asli, akan tetapi satu pihak menguntungkan para tauke. Macam mana tak membantu masyarakat, karena ketika sangat memerlukan uang tauke bisa memberi  berapapun  diperlukan. 
‘’Tapi kita tak sadar, yang semula kita menggadaikan batang rumbia dan berujung pada penjualan tanah, karena uang yang dipinjamkan tak bisa dikembalikan, apalagi dengan sistem bunga yang sangat memberatkan masyarakat kami,’’ ucap Amir.
‘’Karena tak mau memiliki hutang berkepanjangan, akhirnya tanah dijual agar tak ada hutang. Jadi jangan heran kalau ada rumah di atas kebun orang lain, padahal kebun itu milik mereka sebelumnya,’’ kata Amir.
Sebagai Batin Suku Asli, Amir merasa sangat terpukul dengan keberadaan anak cucu dan saudaranya di Kepau Baru. Hanya saja dirinya belum bisa berbuat banyak. 
Bahkan dirinya baru melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Hanya saja keinginan dirinya agar pemerintah membuat program khusus agar suku-suku asli yang menyebar di sepanjang pesisir pantai, Tebingtinggi, Rangsang, Merbau dan Pulaupadang tak terus terpinggirkan. 
Salah satu harapan yang dia gantungkan yaitu agar pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti memberikan fasilitas terutama menyediakan lahan kepada suku-suku asli.  
Dengan adanya lahan sejengkal itu nantinya, kata Amir, bisalah Suku Asli bertahan hidup dan tak menumpang kepada tanah tauke yang lambat laun akan terusir. 
‘’Namanya numpang, tentu ketika orang perlu kita disuruh pindah,’’ jelas Amir.
Usulan dari masyarakat Kepau Baru berharap pemerintah melakukan koordinasi kepada pemilik tanah yang ada di desa tersebut. 
Terutama berharap pemilik tanah menghibahkan tanah agak 20 meter tepi jalan untuk para Suku Asli. 
Tapi menurut Amir, itu mungkin sangat berat bagi pemilik tanah. ‘’Tapi perlu diingat juga kalau tak ada Suku Asli tanah tersebut tentu akan menjadi belukar dan tak terurus,’’ ucapnya.
 Dengan situasi yang terjadi di Kepau Baru tersebut, Amir berharap pemerintah memberikan lahan per KK minimal 2 hektare. Dengan lahan segitu dirinya yakin orang-orang Suku Asli akan menjaga dan memeliharanya. 
‘’Saya jamin tanah itu tak akan dijual, asalkan mereka dilakukan pembinaan untuk membuat kebun,’’ lanjutnya.
 Berharap membuka lahan sendiri, menurutnya saat ini tak memungkinkan lagi. Pasalnya lahan atau hutan di Desa Kepau Baru hingga Telukbuntal sudah tergadai dalam artian sudah dimiliki perusahaan-perusahaan besar. 
‘’Kalau masyarakat mengambil atau membuka lahan, yakin kena lelah (dilarang, red) pakai parang oleh perusahaan,’’ kata Amir sambil tersenyum.
 Suku Asli hidupnya semakin terjepit. Apakah Suku Asli menggantungkan hidup dari laut maupun dari hutan. 
‘’Dulu di mana ditebar jaring dan melempar pancing di tepi laut pasti banyak ikan. Kalau sekarang sampah yang dapat. Kalau dulu dimana menahan jerat di situ didapatkan kancil dan babi, sekarang usah diharapkan. Hutan dah jadi ladang terang benderang, laut dah kotor tak berikan. Kalau hutan habis, habislah kehidupan kami,’’ keluh Amir lagi.
 Tapi harapan itu mungkin masih ada, jika saja pemerintah dan komunitas atau lembaga sosial mau memberikan perhatian serius terhadap para Suku Asli pemilik Pulau Tebingtinggi, Ransang, Merbau dan Pulau Padang. 
Diakui semua orang merekalah yang hidup dan besar di tepian selat sempit  itu selama ini. (rp)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © September, 2012. Marwah Riau - All Rights Reserved
Design by Blogger Inside Inspired by Create Website
Proudly powered by Blogger