Nasib
anak-anak Suku Asli di Kabupaten Kepulauan Meranti, khususnya di Kepau Baru
tergantung kebijakan pemerintah.
Bahkan,
kejadian tak memiliki tanah sebagai tapak rumah tak saja terjadi di Kepau Baru,
akan tetapi di beberapa tempat lainnya, seperti di Desa Kudap, Ransang,
Tanjungkedabu dan Ransang Pesisir.
‘’Tak
sedikit anak cucu dan keluarga kami yang sampai sekarang masih menumpang
hidup di tanah orang. Tapi tak semuanya, karena sebagian ada juga tanah, tapi
warga kami lebih betah tinggal di tepian pantai,’’ kata Ketua Ikatan
Keluarga Besar Batin Suku Asli (IKBBSA) Kepulauan Meranti, Amir, kepada
wartawan.
Menurutnya,
anak Suku Asli di Kepau Baru pada umumnya bekerja sebagai buruh dan petani
kebun rumbia (sagu, red).
Akan
tetapi kebun rumbia yang mereka kerjakan pada umumnya bukan milik
pribadi.
‘’Kalaupun
ada hanya beberapa orang saja, selebihnya menjadi buruh di perkebunan
perusahaan dan tauke-tauke yang memiliki kebun rumbia,’’ sebut Amir.
Hidup
menumpang di tanah tauke atau menumpang di tanah sendiri karena terjerat sistem
ijon sudah lama terjadi.
Diakui
Amir tak memiliki tanah bagi saudara dan anak cucunya saat ini juga dipengaruhi
karena Suku Asli suka berpindah-pindah.
Namun
sejak terbentuknya Kabupaten Kepulauan Meranti dan disentuh berbagai program
akhirnya mereka menetap.
Tapi
tak semuanya bisa begitu, sebab mereka bisa saja pindah dari Pulau Tebingtinggi
ke Pulau Ransang, Pulau Merbau atau Pulau Padang.
‘’Berpindah
karena mereka masih ada hubungan persaudaraan yang akhirnya tanah mereka
tergadai. Sehingga saat mereka tiba ke kampung kembali tanah tak ada akhirnya
menumpang di tanah orang untuk membangun rumah,’’ jelasnya.
Apalagi
di Desa Kepau Baru, tanah-tanah dan hutan sudah menjadi milik perusahaan besar.
Sedangkan di tepian pantai banyak kebun rumbia yang dimiliki para tauke.
Diakuinya,
dulu milik datuk atau nenek para saudaranya di kampung tersebut. Akan tetapi
karena adanya sistim ijon atau pajak akhirnya tanah tersebut berpindah tangan
ke tauke.
Sistem
ijon satu pihak sangat membantu masyarakat Suku Asli, akan tetapi satu pihak
menguntungkan para tauke. Macam mana tak membantu masyarakat, karena ketika
sangat memerlukan uang tauke bisa memberi berapapun diperlukan.
‘’Tapi
kita tak sadar, yang semula kita menggadaikan batang rumbia dan berujung pada
penjualan tanah, karena uang yang dipinjamkan tak bisa dikembalikan, apalagi
dengan sistem bunga yang sangat memberatkan masyarakat kami,’’ ucap Amir.
‘’Karena
tak mau memiliki hutang berkepanjangan, akhirnya tanah dijual agar tak ada
hutang. Jadi jangan heran kalau ada rumah di atas kebun orang lain, padahal
kebun itu milik mereka sebelumnya,’’ kata Amir.
Sebagai
Batin Suku Asli, Amir merasa sangat terpukul dengan keberadaan anak cucu dan
saudaranya di Kepau Baru. Hanya saja dirinya belum bisa berbuat banyak.
Bahkan
dirinya baru melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Hanya saja
keinginan dirinya agar pemerintah membuat program khusus agar suku-suku asli yang
menyebar di sepanjang pesisir pantai, Tebingtinggi, Rangsang, Merbau dan
Pulaupadang tak terus terpinggirkan.
Salah
satu harapan yang dia gantungkan yaitu agar pemerintah Kabupaten Kepulauan
Meranti memberikan fasilitas terutama menyediakan lahan kepada suku-suku
asli.
Dengan
adanya lahan sejengkal itu nantinya, kata Amir, bisalah Suku Asli bertahan
hidup dan tak menumpang kepada tanah tauke yang lambat laun akan terusir.
‘’Namanya
numpang, tentu ketika orang perlu kita disuruh pindah,’’ jelas Amir.
Usulan
dari masyarakat Kepau Baru berharap pemerintah melakukan koordinasi kepada
pemilik tanah yang ada di desa tersebut.
Terutama
berharap pemilik tanah menghibahkan tanah agak 20 meter tepi jalan untuk para
Suku Asli.
Tapi
menurut Amir, itu mungkin sangat berat bagi pemilik tanah. ‘’Tapi perlu diingat
juga kalau tak ada Suku Asli tanah tersebut tentu akan menjadi belukar dan tak
terurus,’’ ucapnya.
Dengan
situasi yang terjadi di Kepau Baru tersebut, Amir berharap pemerintah
memberikan lahan per KK minimal 2 hektare. Dengan lahan segitu dirinya yakin
orang-orang Suku Asli akan menjaga dan memeliharanya.
‘’Saya
jamin tanah itu tak akan dijual, asalkan mereka dilakukan pembinaan untuk
membuat kebun,’’ lanjutnya.
Berharap
membuka lahan sendiri, menurutnya saat ini tak memungkinkan lagi. Pasalnya
lahan atau hutan di Desa Kepau Baru hingga Telukbuntal sudah tergadai dalam
artian sudah dimiliki perusahaan-perusahaan besar.
‘’Kalau
masyarakat mengambil atau membuka lahan, yakin kena lelah (dilarang, red) pakai
parang oleh perusahaan,’’ kata Amir sambil tersenyum.
Suku
Asli hidupnya semakin terjepit. Apakah Suku Asli menggantungkan hidup dari laut
maupun dari hutan.
‘’Dulu
di mana ditebar jaring dan melempar pancing di tepi laut pasti banyak ikan.
Kalau sekarang sampah yang dapat. Kalau dulu dimana menahan jerat di situ
didapatkan kancil dan babi, sekarang usah diharapkan. Hutan dah jadi ladang
terang benderang, laut dah kotor tak berikan. Kalau hutan habis, habislah
kehidupan kami,’’ keluh Amir lagi.
Tapi
harapan itu mungkin masih ada, jika saja pemerintah dan komunitas atau lembaga
sosial mau memberikan perhatian serius terhadap para Suku Asli pemilik Pulau
Tebingtinggi, Ransang, Merbau dan Pulau Padang.
Diakui
semua orang merekalah yang hidup dan besar di tepian selat sempit itu
selama ini. (rp)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !