KETIKA Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo, mengumumkan
pemindahan penyelenggaraan Islamic Solidarity Games (ISG) III tahun 2013, dari
Provinsi Riau ke Jakarta, saya langsung tersentak. Pengumuman dibuat saat
panitia daerah sedang berjibaku mempersiapkan penyelenggaraan iven
internasional tersebut.
Padahal beberapa hari sebelumnya, masih dengan mengenakan
baju koko dan kain sarung usai melaksanakan sholat Jumat, saya sempat memimpin
rapat dengan Event Organizer (EO) untuk ISG. Intinya, pengumuman Menpora
benar-benar mengejutkan dan tidak saya ketahui sama sekali. Padahal kapasitas
saya sebagai Gubernur Riau yang juga ketua pelaksana daerah ISG III Tahun 2013.
Seketika saya mengalami kilas balik 3 tahun lalu. Saat saya
tengah bersama dengan Menpora yang masih dijabat Andi Mallarangeng dan Ketua
KONI/KOI, Rita Subowo. Tawaran itu datang, karena Riau dinilai lebih siap
menjadi tuan rumah ISG III setelah menggelar PON XVIII.
Bagi saya tawaran ini adalah kepercayaan dan juga kesempatan
langka. ISG merupakan iven olahraga terbesar antar negara-negara Islam di
dunia. Akan ada lebih dari 45 negara Islam berpartisipasi dalam ajang ini.
Andai terlaksana, akan menjadi momen pertama berkelas internasional yang
terjadi di Riau.
Bisa dibayangkan, ekonomi rakyat bergerak, promosi berjalan,
pembangunan daerah menggeliat dan Riau bisa menjadi hebat. Bayangan saya, Riau
sedang meniti langkah kecil seperti kota-kota di Cina, yang maju karena
pembinaan olahraganya. Begitu pula Afrika Selatan yang mengubah pencitraan
negaranya setelah menjadi tuan rumah piala dunia. Kesimpulannya, tidak ada
perubahan bisa tercipta seketika.
Dengan semangat menanam pancang perubahan itulah, sejak
ditetapkan melalui Keputusan Presiden dan disahkan di Jeddah, semua persiapan
ISG mulai dilakukan. Semua dikerjakan bersamaan dengan persiapan PON XVIII
tahun 2012. Berpacu dengan waktu, pembangunan venue dan infrastruktur digesa
dan semuanya dikawal secara maksimal. Meski di tengah jalan saat persiapan PON
terjadi musibah hukum yang luar biasa dahsyatnya, saya tetap tegaskan, tidak
boleh ada kata mundur sedikitpun. Ini soal amanah dan marwah!
Dihadapan Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, ketika
pembukaan PON Riau di stadion utama, saya katakan bagaimana keteguhan seluruh
komponen panitia daerah dan rakyat Riau menyukseskan apa yang telah
dipercayakan negara. Saat itu saya tegaskan,”Biarlah Badan Berkalang Tanah.
Biarlah Mati Tak Tersebut Budi. Tak Akan Gagal PON di Bumi Melayu Ini,”.
Alhamdulillah, PON akhirnya sukses digelar. Saya pun
menegaskan pada seluruh jajaran, tidak ada waktu untuk bereuforia merayakan
kesuksesan PON, karena tanggungjawab lebih besar telah menanti, menjadi tuan
rumah ISG yang semula dijadwalkan Juni 2013.
Namun lagi-lagi di tengah jalan, saat kuda perang sedang
berlari kencang, kembali musibah datang menghadang. KPK menetapkan saya sebagai
tersangka kasus PON. Jujur sebagai manusia biasa, dengan segala kelemahan dan
kekurangan, saat itu saya nyaris tumbang. Saya seperti dihadapkan pada satu
tembok yang tinggi. Sungguh terasa betapa beratnya lahir batin saya
memperjuangkan hampir segalanya untuk kemaslahatan negeri ini.
Tapi saya sadar, semua itu adalah resiko seorang pemimpin.
Saya mengharamkan diri menghentikan semua perjuangan. Tidak boleh ada kata
menyerah kalah. Karena itu pula, saat persiapan ISG mendadak mati suri dan
hampir tidak ada progres yang berjalan, karena hampir semua jajaran merasa ketakutan untuk bekerja, saya
keluar dari zona nyaman. Saya sadar, kepemimpinan membutuhkan keteguhan hati
yang besar untuk tetap berdiri tegar.
Dihadapan Sesmenpora, Ketua KONI Rita Subowo, perwakilan ISSF
dan anggota DPR RI, dalam kunjungan mereka meninjau kesiapan Riau, saya
tegaskan bahwa ISG III Tahun 2013 tetap akan terlaksana di Riau. Memimpin dan
menjamin seluruh pelaksanaan, selagi masih ada nyawa di badan dan diberikan
kesempatan. Seketika yang hadir saat itu diliputi rasa percaya diri bahwa
pelaksanaan ISG tak akan jalan di tempat.
Ketua KONI, Buk Rita bahkan sempat bertanya pada saya dalam
pembicaraan yang bersifat pribadi,”Kalaupun nanti opsi terburuk ISG kita tunda,
kira-kira Bapak masih jadi Gubernur-nya gak?,”. Begitu saya jawab, “Insyallah
masih”, Buk Rita seketika berkata,”Oke, kalau begitu ISG akan tetap di Riau,”
tegasnya.
Ketegasan yang sama juga disampaikan Menpora Roy Suryo.
Dihadapan pemuka masyarakat dan panitia daerah, Menpora menegaskan bahwa tidak
ada opsi memindahkan ISG kemanapun selain tetap di Riau.
Terlebih lagi Menpora jujur mengakui keterlambatan ISG tidak
semata persoalan di daerah, tapi juga disebabkan Kemenpora yang seharusnya
bertanggungjawab membiayai iven ini, ternyata tidak memiliki anggaran.
Alasannya karena anggaran diberi tanda bintang oleh Kementrian keuangan.
Saat itu kami sama-sama saling menghargai, saling menghormati
dan saling memberi semangat, bahwa ISG harus tetap sukses terlaksana di bumi
Lancang Kuning. Apapun yang terjadi.
Namun apa daya, pada akhirnya Menpora mengumumkan juga
pemindahan tuan rumah ISG. Dengan alasan, banyak pekerjaan yang masih
terkendala penyelesaiannya dan tidak ada progres berarti seperti janji semula.
Dua catatan penting dari Menpora, yang menjadi berita di
media nasional mengenai alasan pemindahan tuan rumah ISG ke Jakarta. Pertama,
keputusan diambil demi menyelamatkan muka Indonesia di mata dunia. Kedua,
pelaksanaan ISG harus dipindah dari Riau, karena dinilai persiapannya hanya
mengandalkan kerja Gubernur Riau saja yang sedang „terpenjara‟ status
tersangka, sementara pejabat lainnya hanya sibuk mengurus Pilkada.
Saya akhirnya menyadari dan bisa memahami alasan yang
disampaikan Menpora. Kepentingan bangsa dan negara, memang di atas
segala-galanya. Pertaruhan ini bukan hanya milik Riau lagi, tapi juga milik
bangsa. Lagipula apa yang disampaikan Menpora benar adanya, lelah juga
memperjuangkan semuanya selama ini, „sendirian‟.
Jika akhirnya ISG dipindah dengan alasan Menpora
„mengasihani‟, alasan itu menyadarkan dan mengetuk pintu hati saya secara
pribadi. Menpora-lah orang pertama, yang jujur mengatakan sesuatu yang selama
ini sekuat tenaga coba saya sembunyikan ke publik.
Kondisi „bekerja sendiri‟ ini, sebenarnya sudah lama saya
alami sejak pelaksanaan PON. Beban tiada terkira, seperti membatu di satu
pundak ini saja. Pendelegasian kerja pada beberapa kalangan tertentu, lebih
sering tidak berjalan sesuai rencana. Rasa lelah tak berbayar, karena masih
banyak yang asal koar-koar. Yang mengaku pengamat, politisi, wakil rakyat
bahkan yang masuk dalam sistem pemerintahan pun, ikut mengkritisi tanpa dasar.
Ironisnya, banyak yang masih mau bekerja mati-matian, siang dan malam, tapi itu
pun sering mendapat sorotan yang berlebihan. Serba salah.
Suatu ketika Menpora Roy Suryo pernah bertanya, andai
sewaktu-waktu hal buruk terjadi pada saya dalam mempersiapkan ISG, siapa yang
dinilai pantas menjadi penyambung tangan? Sebelum Menpora bertanya, saya
sebenarnya sudah mempersiapkannya sejak lama. Semata-mata demi rasa
tanggungjawab, jika di tengah jalan terjadi hal yang tidak sesuai
rencana. Maka ada dua nama utama saya sebutkan, yakni Syamsurizal (Ketua Harian PB PON) dan Emrizal Pakis (Asisten II Sekdaprov Riau).
rencana. Maka ada dua nama utama saya sebutkan, yakni Syamsurizal (Ketua Harian PB PON) dan Emrizal Pakis (Asisten II Sekdaprov Riau).
Saya terpaksa menyebut nama, karena ada rasa trauma ketika
mendelegasikan tugas namun terbengkalai dalam pelaksanaannya. Contohnya saja
ketika PON, harusnya yang menjadi ketua harian dalam strukturnya adalah
Wagubri. Namun hampir dua tahun lamanya, pelaksanaan PON stagnan dan tidak ada
progres berarti, sementara waktu terus saja berjalan. Kehormatan Riau sedang
dipertaruhkan.
Pernah sepulang kunjungan kerja dari Siak, turun dari
Helikopter saya langsung memimpin rapat persiapan PON, saat itu hadir ketua
harian, namun tugas yang sudah jelas-jelas diarahkan, kembali tidak berjalan
sama sekali. Sebagai Gubernur, tidak mungkin semuanya saya kerjakan sendirian.
Karena tugas yang begitu banyak dan besar sebagai pertanggungjawaban pada jutaan
rakyat Riau.
Karena itulah, daripada menanggung malu dengan carut marut
persiapan, pada Syamsurizal akhirnya jabatan ketua harian PB PON itu
diserahkan. Terbukti justru di tangan mereka ini semua persiapan PON bisa
terlaksana dengan baik. Dibantu oleh jajaran panitia yang luar biasa semangat
kerjanya. Siang malam bertungkus lumus demi menjaga marwah negeri.
Semangat kerja sebenarnya sempat membuncah menyambut ISG,
meski di tengah hiruk pikuk pengunduran dari jadwal semula. Namun pada
akhirnya, opsi pemindahan yang dipilih pemerintah pusat. Pemindahan ini secara
aspek psikologis memang akan berdampak banyak bagi daerah. Karena ribuan
panitia, LO dan penerjemah sudah direkrut. Belum lagi dunia usaha yang berharap
pada iven internasional ini. Namun jika memang disebut ini sebagai keputusan
untuk kemaslahatan bangsa dan negara, saya dapat memahami yang disampaikan
Menpora. Lagipula suara ini memang sudah serak untuk terus berteriak-teriak
sendiri.
Namun bagaimanapun, andailah masih bisa dipertimbangkan, saya
masih berharap ada keajaiban ISG tetap di Riau. Karena inilah salah satu pintu,
agar Riau bisa bersuara lantang di kancah nasional dan internasional. Inilah
loncatan yang harus kita buat, karena seorang juara tak bisa dinilai hanya dari
kemenangan, tapi bagaimana dia berhasil menaklukan hambatan dan tantangan.
Pada mereka yang sejalan dengan saya, tentang mimpi-mimpi
besar membangun Riau, saya hanya bisa sampaikan permohonan maaf. Sebingkai
mimpi untuk Riau melalui ISG, bisa dikatakan kini musnah sudah. Meski hati dan
pemikiran saya sepenuhnya untuk Riau, namun tangan dan kaki saya ini sama
dengan manusia lainnya, penuh kekurangan dan keterbatasan.
Sungguh saya tak butuh sanjung puji untuk membangun negeri
ini. Tetap bekerja dengan segenap rasa semangat, hingga tak tentu siang, tak
tentu malam, tak tentu sekedar menyapa anak istri. Suatu ketika kelak, apa yang
hilang dari genggaman kita hari ini, akan menjadi catatan sejarah tersendiri.
Ini bukan kegagalan saya, TAPI KITA. Ini kegagalan kita bersama.
Terimakasih Pak Menpora, sudah mengasihani saya. Tapi
andailah bisa, tetaplah beri negeri kami kesempatan. Ada jutaan rakyat Riau,
yang masih tertatih-tatih meniti mimpi tentang perubahan. (rls)

0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !